Rabu, 06 November 2013

Hubungan antara Bahasa Indonesia dengan jurusan Akuntansi



Nama : Nessa Laynora Suci
Kelas : 3EB21
NPM : 25211136

Hubungan antara Bahasa Indonesia dengan jurusan Akuntansi

Bahasa Indonesia adalah bahasa sehari – hari yang sering kali kita pakai dalam berbicara satu sama lain bisa dengan teman, orangtua, ataupun guru dan lain-lain. Biasanya bahasa ini kita gunakan untuk percakapan, untuk memperoleh informasi atau pun berita yang lainnya. Bahasa indonesia merupakan bahasa yang paling penting untuk kita karena dari Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruaan tinggi (Universitas) pasti tidak akan lepas bahasa tersebut. Apalagi dalam dunia kerja bahasa ini sangat menunjang untuk perusahaan menjadi lebih baik lagi. Semuanya diukur dalam pengetahuan yang kita miliki.
Tapi di Era Modern sekarang bahasa sudah sangat tidak terlalu dihiraukan mereka seenaknya saja menganggap bahwa untuk berbicara atau menyelesaikan tugasnya dengan bahasa yang kurang sopan ataupun lebih mementingkan bahasa gaul seperti anak-anak sekarang. Padahal jika kita memakai bahasa indonesia yang sopan dan santun maka akan mengajarkan kita dalam bertingkah laku, tutur kata dan sikap kita untuk menjadi lebih baik. Maka dari itu bahasa indonesia mengajarkan untuk bertingkah laku yang benar dan baik.
Menurut saya hubungan antara Bahasa Indonesia dengan jurusan Akuntansi adalah sangatlah erat kaitannya. Mengapa ? karena Akuntansi dan Bahasa Indonesia saling membutuhkan satu sama lain. Contohnya saja dalam hal membuah skripsi tidaklah mungkin secepat dan semudah yang kita bayangkan. Pasti kita memerlukan langkah-langkah dalam menyusunnya seperti tema, judul, bahan-bahan yang diperoleh, dan lain sebagainya untuk penunjang skripsi tersebut baik dan layak untuk di presentasikan. Tidak mungkin kita langsung kedalam pokok permasalahannya jika kita tidak menyusun dengan  baik bahasa- bahasanya. maka dari itu peran bahasa indonesia sangatlah penting untuk semua matakuliah apapun termasuk dalam jurusan akuntansi. Untuk bahan yang digunakan pasti menggunakan jurnal-jurnal dalam perusahan dagang karena dalam akuntansi dituntut dalam pola kita menyusun laporan keuangan dengan benar dan melaporkannya ke perusahaan dengan benar juga. Maka dari itu bahasa indonesia dari sekolah dasar hingga sekarang tidak akan pernah hilang, apalagi bahasa kita yang sering digunakan adalah bahasa indonesia.
Bahasa indonesia adalah bahasa persatuan dan kesatuan. Bagaimana jika bahasa kita sendiri tidak kita gunakan kembali pasti semuanya akan tidak menjadi baik. Bahkan bisa menjadi hancur bangsa ini kalau kita sendiri tidak pernah memakai bahasa yang baik dan benar.

Kamis, 04 April 2013

Perlindungan Hukum


Nama : Nessa Laynora Suci
Kelas : 2EB21
NPM : 25211136

Pengertian Konsumen
Konsumen adalah seseorang yang membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Asas dan Tujuan
A.    Asas
Pasal 2 UU perlindungan konsumen asas-asas dibagi menjadi antara lain sebagai berikut :
a.       Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
b.      Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
c.       Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
d.      Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e.       Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum
B.     Tujuan
Pasal 3 UU perlindungan konsumen menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah antara lain sebagai berikut :
a.       Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
b.      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
c.       Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
d.      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
e.       Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
f.       Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen
Hak dan Kewajiban Konsumen
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, telah mengatur tentang hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
1.      Hak Konsumen
a.       Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa
b.      Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
c.       Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
d.      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan
e.      Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
f.        Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
g.       Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
2.      Kewajiban konsumen
a.       membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan
b.      beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa
c.       membayar dengan nilai tukar yang disepakati
d.      mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Berdasarkan pasal 6 dan 7 undang-undang no 8 tahun 1999 hak dan kewajiban pelaku usaha adalah sebagai berikut :
1.      hak pelaku usaha
a.       hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.
b.       Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
c.       Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukun sengketa konsumen.
d.      Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan.
e.       Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
2.      kewajiban pelaku usaha
a.       bertikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b.       Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaika, dan pemeliharaan.
c.       Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ; pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan
d.      Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang atau jasa yang berlaku.
e.       Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan garansi .
f.       Memberi kompensasi , ganti rugi atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan manfaat barang atau jasa yang diperdagangkan.
g.      Memberi kompensasi ganti rugi atau penggantian apabila berang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Perbuataan yang dilarang bagi pelaku usaha
Dalam pasal 8 sampai dengan pasal 17 undang-undang nomor 8 tahun 1999, mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha larangan dalam memproduksi atau memperdagangkan, larangan dalam menawarkan , larangan-larangan dalam penjualan secara obral / lelang , dan dimanfaatkan dalam ketentuan periklanan .

1. larangan dalam memproduksi / memperdagangkan.
Pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa, misalnya :
a.       tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
b.      tidak sesuai dengan berat isi bersih atau neto
c.       tidak sesuai dengan ukuran , takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya
d.      tidak sesuai denga kondisi, jaminan, keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etika , atau keterangan barang atau jasa tersebut
e.       tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label
f.       tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal
g.      tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat barang, ukuran , berat isi atau neto
2. larangan dalam menawarkan / memproduksi
pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan suatu barang atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah :
a.       barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu.
b.      Barang tersebut dalam keadaan baik/baru
c.       Barang atau jasa tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu
d.      Dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi
e.       Barang atau jasa tersebut tersedia.
f.       Tidak mengandung cacat tersembunyi.
g.      Kelengkapan dari barang tertentu.
h.      Berasal dari daerah tertentu.
i.        Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya , atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap.
j.        Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
3. larangan dalam penjualan secara obral / lelang
Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang , dilarang mengelabui / menyesatkan konsumen, antara lain :
a.       menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar tertentu.
b.      Tidak mengandung cacat tersembunyi.
c.       Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain.
d.      Tidak menyedian barang dalam jumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain.
4. larangan dalam periklanan
Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan , misalnya :
a.       mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga mengenai atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang jasa
b.      Mengelabui jaminan / garansi terhadap barang atau jasa.
c.       Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang atau jasa.
d.      Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang atau jasa.
e.       Mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizing yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan.
f.       Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
Klausula Baku dalam Perjanjaan
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan sepihak yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen.
Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengadung unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut :
a.       Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen
b.      Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen
c.       Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen
d.      Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran
e.       Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen
f.       Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam pasal 19 sampai pasal 28 diatur dalam undang-undang yang berbunyi sebagai berikut antara lain :
Pasal 19
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut
Pasal 21
(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri
(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing
Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian
Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen
Pasal 24

(1)   Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila
a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut
b.pelaku usaha lain, didalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut
Pasal 25
(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut
a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan
b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dan tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila
a.        barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan
b.      b. cacat barang timbul pada kemudian hari
c.       cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d.      d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen
e.       e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
Sanksi
Sanksi Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian.

Referensi :


Penyelesaian Sengketa Ekonomi



Nama               : Nessa Laynora Suci
Kelas              : 2EB21
NPM               : 25211136


Pengertian Sengketa

Sengketa adalah suatu perselisihan atau pertengkaran yang terjadi dalam suatu mengembangkan usaha . atau sesuatu yang menyebabakan perbedaan pendapat yang dapat menimbulkan pertengakaran baik kecil maupun besar. Contohnya memperebutkan  sesuatu seperti tanah warisan atau lain sebagainya.

Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Usaha manusia untuk meminta maaf atas pertikaian atau konflik dalam mencapai kestabilan dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama. Bentuk-bentuk akomodasi antara lain genjatan sejata , arbtrasi, mediasi, konsialisasi, staletmete.

Negosiasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dengan perjanjian antara kedua belah pihak dimana pihak yang satu mempunyai perjanjian untuk kompromi melakukan suatu kepentingannya dengan cara yang baik

Mediasi
Mediasi adalah penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.

Arbitrase
Suatu  perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.

Perbandingan antara Perundingan Aribtrase dan Ligitasi
Perbandingan antara perundingan arbitrase dengan ligitasi antara lain

Arbitrase adalah Suatu  perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.

Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah.


Referensi :